Berbangga dengan Kebodohan
Mungkin dengan membaca judul, sebagian dari Anda mungkin sudah memahami hal apa yang akan saya balas. Mungkin juga bebera dari Anda akan ada bersekulasi kata tersebut akan terdengan keras bahakan kasar. Akan tetapi hal ini saya kata berdasarkan penilaian saya terhadap seseorang yang saya temui sehingga muncullah statemant tersebut ddalam otak ini.
Pagi itu rutinitas yang saya lalui sama seperti biasa, yaitu bangun pagi dan melakukan persiapan untuk berangkat kerja. Sebelum berangkat kerja saya menyempatkan diri untuk melakukan sarapan pagi di kedai lontong dekat rumah. Akan tetapi di sana saya mengalami suatu hal yang sebelumnya sudah jarang terjadi yaitu bertemu dengan salah seorang teman lama.
Dia merupakan teman yang sudah lama saya kenal, dimulai semenjak saya SD. Bahkan kami menempuh pendidikan di sekolah yang sama hingga SMA. Walapun kami tinggal di daerah yang sama, akan tetapi kami sudah jarang berbincang karena kesibukan masing-masing.
Di kedai lontong tersebut kami melakukan perbincangan dimulai dari menanyakan keadaan masing-masing. Hingga pada akhirnya dia memulai pertanyaan tentang pekerjaan saya saat ini. Pada dasarnya saya menempuh jenjang perkuliah dengan jurusan PGSD, sedangkan dia tidak melanjutkan pendidikan selepas SMA. Disitu dia bertanya dimana saya bekerja sekarang dan sayapun menjawabnya dengan jujur, karena pada saat sekang ini saya memang sedang bekerja sebagai honorer di salah satu SD Negeri di daerah saya.
Pembincangan kami berlanjut dan sayapun juga menanyakan apa kesibukannya sekarang dan bekerja apa untuk membuat pembicaran lebih baik. Hingga pada akhirnya dia mulai bertanya berapa gaji yang saya dapatkan bekerja sebagai honorer. Pada dasarnya saya tidak mempermasalahkan gaji berapa saya dapatkan, karena pada dasarnya saya mau berkerja sebagai honorer bukan semata karena uang. Melainkan juga untuk mengaplikasikan ilmu yang saya dapatkan selama menempuh perkuliahan serta menjawab harapan orang tua karena mereka ingin melihat salah seorang anaknya menjadi guru.
Walaupun demikian saya tetap merasa risih ketika dia menanyakan perihal gaji. Ada pemikiran negatif yang terbesit dalam pemikiran saya tentang dia yang menanyakan gaji tersebut, akan tetapi saya tidak mau memutus pembicaraan sehingga saya tetap menyebutkan gaji yang saya depatkan dengan perkiraan angka.
Disini pembicaraan mulai masuk ke tahap yang sudah mengenakkkan bagi saya. Hal itu bukan karena semata dia menanyakan berapa gaji yang saya dapatkan, akan tetapi dia sudah mulai mengkalkulasikan besar gaji yang saya depatkan selama sebulan dan menghutung pengeluaran. Dalam sebuah konteks tertentu bagi saya tidak masalah hal tersebut dia lakuka jikalau memang untuk mengetahui saja. Akan tetapi permasalahan mulai muncul ketika dia mulai berkata “Kecil ya, untuk satu bulan saja tidak cukup itu”
Bagi saya yang masih bujangan dengan pengeluaran yang sedikit hal tersebut tidak masalah, karena sejujurnya untuk mencapai sesuatu itu harus ada proses. Namun perkataan dia selanjutnya membuat penilainnya terhadapnua mulai berubah. Dengan lantangnya dia berkata “Kalau saya tidak mau bekerja seperti itu, lebih baik nganggur seperti saya kan daripada kerja dengan gaji segitu”. Sontak saya langsung berfikir dan berkata dalam hati “Sungguh bodoh Anda dengan kebanggan seperti itu”.
Satu hal yang ingin saya sampaikan kepada teman pembaca, janganlah sesekali Anda menilai seseorang dari penghasilan uang dia dapatkan. Memang pada saat sekarang ini uang merupakan suatu hal yang wajib dimiliki, akan tetapi belum tentu penilaian Anda tentang uang sama dengan orang lain. Selain itu cobalah bijak dalam berbica, jangan mengeluarkan perkataan yang sejujurnya itu dapat membuat orang menilai siapa diri Anda.
Tidak ada keistimewaan dari membagakan kebodohan, apalagi sampai membandingkan diri Anda dengan orang lain yang nyatanya mungkin lebih baik dari Anda. Sejujurnya bagi saya seseorang yang sudah mau berbuat walaupun belum sesuai dengan apa yang diharapkan itu lebih hebat daripada mereka yang rela tidak berbuat karena tidak sesuai dengan apa yang di harapakan.
Percayalah di luar sana banyak orang yang hidup dengan keinginan mendapatkan kelayakan, akan tetapi mungkin saja keadaan yang belum mengizinkan meraka untuk memperoleh hal tersebut. Namun mereka di luar sana lebih baik karena tetap mau berusaha daripada mereka tidak mau sama sekali dan lebih memilih tidak, apalagi membagakan piihat tidak tersebut yang nyatanya tidak merubah apa-apa dan malah mungkin memperburuk keadaan.